A. Teknologi Penciptaan Tanaman Transgenik

a. Sejarah penelitian DNA

Karakteristik semua mahluk hidup dari yang paling sederhana seperti virus dan bakteri sampai pada organisme multiselular kompleks seperti tanaman dan hewan ditentukan oleh gen. Gen adalah kumpulan asam deoksiribo nukleat (DNA) yang terdapat dalam kromosom di dalam inti sel yang berfungsi mengatur dan mengendalikan sifat mahluk hidup. Ada gen yang mengatur kenapa buah tomat ketika masak menjadi merah, kera memiliki ekor atau manusia Indonesia berambut hitam. Bahkan gen dalam batas-batas tertentu mengendalikan mengapa seseorang mempunyai wajah cantik sedangkan lainnya tidak.

Prinsip dasar pewarisan karakteristik fisik pertama kali dikemukakan oleh seorang pastor George Mendel pada tahun 1865 yang meneliti tanaman pea. Mendel mengatakan ada hubungan kenampakan fisik (fenotipe) dengan struktur genetik (genotipe) suatu organisme. Mendel menggunakan istilah bahwa ‘faktor pewarisan’ untuk menjelaskan sesuatu yang selanjutnya oleh Sutton disebut gen pada tahun 1902. Meskipun penelitian genetika klasik ini dianggap luar biasa, tetapi belum terdapat pemahaman tentang sifat molekuler gen sampai tahun 1940-an. Baru kemudian setelah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Avery, Mac Leod dan Mc Carty pada tahun 1944 serta Hershey dan Chase pada tahun 1952 semua orang percaya bahwa gen adalah DNA yang merupakan material genetik.

Penemuan tentang peran DNA merupakan daya tarik yang sangat besar bagi penelitian genetika dan banyak ahli biologi terkenal seperti Delbruck, Chargaff, Crick dan Monod telah memberikan sumbangan jaman kebesaran genetika kedua. Dalam waktu empat belas tahun yaitu pada tahun 1966 struktur DNA telah diketahui, serta proses-proses transkripsi dan translasi ke protein dapat dijabarkan. Pada 1971 –1973 penelitian genetika maju dengan pesatnya sehingga dapat disebut sebagai revolusi dalam biologi modern. Suatu metode yang sama sekali baru dikembangkan sehingga memungkinkan percobaan yang sebenarnya tidak mungkin dilakukan akhirnya dapat berhasil dirancang dan dilaksanakan. Metode-metode ini disebut teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetik yang inti prosesnya adalah kloning gen dimana gen dapat dipindah-pindahkan dari organisme satu ke organisme lainnya.

b. Teknologi produksi tanaman transgenik

Ahli rekayasa genetik tanaman melakukan transformasi gen dengan tujuan untuk memindahkan gen yang mengatur sifat-sifat yang diinginkan dari satu organisme ke organisme lainnya. Beberapa sifat yang banyak dikembangkan untuk pembuatan tanaman transgenik misalnya (1) gen resistensi terhadap hama, penyakit dan herbisisda, (2) gen kandungan protein tinggi, (3) gen resistensi terhadap stress lingkungan seperti kadar alumium tinggi ataupun kekeringan dan (4) gen yang mengekspresikan suatu ciri fenotipe yang sangat menarik seperti warna dan bentuk bunga, bentuk daun dan pohon yang eksotik. Beberapa tanaman yang direkayasa gennya menjadi tanaman transgenik yaitu jagung, tomat, kentang, kapas dan sebagainya. Salah satu contoh dari tanaman transgenik yang cukup menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat dunia terutama di Indonesia adalah kedelai transgenik karena kedelai merupakan salah satu produk pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

B. Kedelai Secara Umum

Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia.

a. Klasifikasi Kedelai
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Resales
Suku : Legummosae
Marga : Soya
Jenis : Soya max Piper

b. Morfologi Kedelai
Kedelai merupakan tanaman dikotil semusim dengan percabangan sedikit, sistem perakaran akar tunggang, dan batang berkambium. Kedelai dapat berubah penampilan menjadi tumbuhan setengah merambat dalam keadaan pencahayaan rendah. Kedelai, khususnya kedelai putih dari daerah subtropik, juga merupakan tanaman hari-pendek dengan waktu kritis rata-rata 13 jam. Kedelai akan segera berbunga apabila pada masa siap berbunga panjang hari kurang dari 13 jam.

Berikut ini adalah morfologi dari tanaman kedelai dari mulai biji hingga ke buah, yaitu :

Biji
Biji kedelai berkeping dua, terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan endospperma. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji kuning, hitam, hijau, coklat. Pusar biji (hilum) adalah jaringan bekas biji melekat pada dinding buah. Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong tetapai ada pula yang bundar atau bulat agak pipih.

Kecambah
Biji kedelai yang kering akan berkecambah bila memperoleh air yang cukup. Kecambah kedelai tergolong epigeous, yaitu keping biji muncul diatas tanah. Warna hipokotil, yaitu bagian batang kecambah dibawah kepaing, ungu atau hijau yang berhubungan dengan warna bunga. Kedelai yang berhipokotil ungu berbunga ungu, sedang yang berhipokotil hijau berbunga putih. Kecambah kedelai dapat digunakan sebagai sayuran (tauge).

Perakaran
Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembapan tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat menyerap unsur hara dan air. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat bertumpunya tanaman dan alat pengangkut air maupun unsur hara, akar tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil-bintil akar. Bintil akar tersebut berupa koloni dari bakteri pengikat nitrogen Bradyrhizobium japonicum yang bersimbiosis secara mutualis dengan kedelai. Pada tanah yang telah mengandung bakteri ini, bintil akar mulai terbentuk sekitar 15 – 20 hari setelah tanam. Bakteri bintil akar dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2 yang kemudian dapat digunakan oleh kedelai setelah dioksidasi menjadi nitrat (NO3).

Batang
Kedelai berbatang dengan tinggi 30–100 cm. Batang dapat membentuk 3 – 6 cabang, tetapi bila jarak antar tanaman rapat, cabang menjadi berkurang, atau tidak bercabang sama sekali. Tipe pertumbuhan batang dapat dibedakan menjadi terbatas (determinate), tidak terbatas (indeterminate), dan setengah terbatas (semi-indeterminate). Tipe terbatas memiliki ciri khas berbunga serentak dan mengakhiri pertumbuhan meninggi. Tanaman pendek sampai sedang, ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian tengah, daun teratas sama besar dengan daun batang tengah. Tipe tidak terbatas memiliki ciri berbunga secara bertahap dari bawah ke atas dan tumbuhan terus tumbuh. Tanaman berpostur sedang sampai tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian tengah. Tipe setengah terbatas memiliki karakteristik antara kedua tipe lainnya.

Daun
Pada buku (nodus) pertama tanaman yang tumbuh dari biji terbentuk sepasang daun tunggal. Selanjutnya, pada semua buku di atasnya terbentuk daun majemuk selalu dengan tiga helai. Helai daun tunggal memiliki tangkai pendek dan daun bertiga mempunyai tangkai agak panjang. Masing-masing daun berbentuk oval, tipis, dan berwarna hijau. Permukaan daun berbulu halus (trichoma) pada kedua sisi. Tunas atau bunga akan muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur, mulai dari daun yang menempel di bagian bawah batang.

Bunga
Bunga kedelai termasuk bunga sempurna yaitu setiap bunga mempunyai alat jantan dan alat betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup sehingga kemungkinan kawin silang alami amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong.

Buah
Buah kedelai berbentuk polong. Setiap tanaman mampu menghasilkan 100 – 250 polong. Polong kedelai berbulu dan berwarna kuning kecoklatan atau abu-abu. Selama proses pematangan buah, polong yang mula-mula berwarna hijau akan berubah menjadi kehitaman.

c. Jenis kedelai

Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti RRC dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara.
Beberapa kultivar kedelai putih budidaya di Indonesia, di antaranya adalah ‘Ringgit’, ‘Orba’, ‘Lokon’, ‘Darros’, dan ‘Wilis’. “Edamame” adalah sejenis kedelai berbiji besar berwarna hijau yang belum lama dikenal di Indonesia dan berasal dari Jepang.

C. Kedelai Transgenik

a. Sejarah perkembangan kedelai transgenik

Kedelai dikenal dengan berbagai nama: sojaboom, soja, soja bohne, soybean, kedele, kacang ramang, kacang bulu, kacang gimbol, retak mejong, kaceng bulu, kacang jepun, dekenana, demekun, dele, kadele, kadang jepun, lebui bawak, lawui, sarupapa tiak, dole, kadule, puwe mon, kacang kuning (aceh) dan gadelei. Berbagai nama ini menunjukkan bahwa kedelai telah lama dikenal di Indonesia.

Berdasarkan peninggalan arkeologi, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu di Asia Timur. Kedelai putih diperkenalkan ke Nusantara oleh pendatang dari Cina sejak maraknya perdagangan dengan Tiongkok, sementara kedelai hitam sudah dikenal lama orang penduduk setempat.

Orang Cina merupakan pengguna kacang kedelai sebagai makanan yang pertama. Pada sekitar tahun 1100BC, kacang kedelai telah ditanam di bagian selatan tengah Cina dan dalam waktu singkat menjadi makanan pokok diet Cina. Kacang kedelai telah diperkenalkan di Jepang sekitar tahun 100 AD dan meluas ke seluruh negara-negara asia secara pesat. Kacang kedelai dikenal di Eropa sekitar tahun 1500 AD. Pada awal abad ke-18, kacang kedelai telah ditanam secara komersial di Amerika Serikat.

Hingga saat ini sudah ratusan gen dari berbagai sumber yang berhasil dipindahkan ke tanaman dan memunculkan ratusan jenis varietas tanaman baru yang disebut tanaman transgenik. Namun sebagian besar tanaman transgenik tersebut belum dipasarkan. Hingga tahun 2000 baru 24 jenis tanaman transgenik yang dikomersialisasikan di Amerika, diantaranya termasuk empat kelompok tanaman transgenik utama yaitu : (1) kedelai transgenik yang menguasai 36% dari 72 ha area global tanaman kedelai, (2) kapas transgenik mencakup 36% dari 34 juta ha, (3) kanola transgenik 11% dari 25 juta ha, dan (4) jagung transgenik 7% dari 140 juta ha (Kompas, 11 Pebruari 2002).

Pada tahun 1996 luas areal untuk tanaman transgenik di seluruh dunia telah mencapai 1,7 ha, dan tiga tahun kemudian meningkat menjadi hampir 40 juta ha. Negara- negara yang melakukan penanaman tersebut antara lain Amerika Serikat (28,7 juta ha), Argentina (6,7 juta ha), Kanada (4 juta ha), Cina (0,3 juta ha), Australia (0,1 juta ha), dan Afrika Selatan (0,1 juta ha). Indonesia sendiri pada tahun 1999 telah mengimpor produk pertanian tanaman pangan transgenik berupa kedelai sebanyak 1,09 juta ton, bungkil kedelai 780.000 ton, dan jagung 687.000 ton. Pengembangan tanaman transgenik di Indonesia meliputi jagung (Jawa Tengah), kapas (Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan), kedelai, kentang, dan padi (Jawa Tengah). Sementara itu, tanaman transgenik lainnya yang masih dalam tahap penelitian di Indonesia adalah kacang tanah, kakao, tebu, tembakau, dan ubi jalar.

Pada tahun 2003, luas areal tanaman transgenik yang memanfaatkan teknik bioteknologi di seluruh dunia mengalami peningkatan sebesar 15 persen atau setara dengan 67,7 juta hektar. Peningkatan luas lahan yang digunakan untuk mengembangkan tanaman transgenik tersebut termasuk kawasan seluas 3 juta hektar tanaman kedelai transgenik (soybean Bt) di Brazil. Brazil merupakan negara yang pertama kali menyetujui penanaman kedelai transgenik selama tahun 2003. Sampai akhir tahun 2003, jumlah lahan yang ditanami dengan kedelai transgenik mengalami kenaikan sebesar 13 persen. Luas lahan bagi budidaya kedelai transgenik meningkat hingga mencapai 41,4 juta hektar, atau setara dengan 55 persen produksi kedelai secara global.

Tanaman transgenik adalah suatu produk rekayasa genetika melalui transformasi gen dari makhluk hidup lain ke dalam tanaman yang tujuannya untuk menghasilkan tanaman baru yang memiliki sifat unggul yang lebih baik dari tanaman sebelumnya.

Tanaman transgenik direkayasa pertama kali pada tahun 1980-an, yakni melalui proses mentransfer gen b–faseolin dari kacang-kacangan ke kromosom bunga matahari. Perkembangan lebih lanjut telah memungkinkan untuk melakukan transformasi genetik ke eksplan yang mampu beregenerasi seperti daun, batang dan akar. Terobosan terakhir dalam hal meregenarasikan tanaman monokot transgenik telah menghilangkan penghambat utama dalam usaha untuk perbaikan sifat tanaman serealia.

Tanaman transgenik pada tahun 1980-an menjadi “penyelamat” di dunia di tengah-tengah krisis pangan dunia. Tanaman transgenik dipercayakan akan bermanfaat bagi lingkungan dengan mengurangi penggunaan herbisida dan insektisida, membantu petani, memecahkan krisis pangan, menyelesaikan masalah kelaparan dengan meningkatkan lahan tanaman, dan meningkatkan nutrisipangan.

Pada kedelai transgenik, gen bakteri tanah Bacillus thuringiensis (sering disebut Bt) “digunting” dan “direkatkan”pada gen kedelai untuk membuat kedelai tahan hama. Di alam, bakteri Bt menghasilkan senyawa yang bisa membunuh larva serangga tertentu. Jadi “mengawinkan” gen Bt dengan gen kedelai akan membuat tanaman menghasilkan pestisidanya sendiri. Dengan rekayasa genetika, kedelai transgenik juga didesain tahan terhadap herbisida.

b. Pengekspor kedelai transgenik ke Indonesia

Sebenarnya produk transgenik yang masuk ke Indonesia bukan hanya kedelai. Saat ini empat tanaman transgenik utama adalah kedelai, jagung, kanola, dan kapas. Sebagian besar kedelai di Indonesia berasal dari Amerika. Dan dari komoditas kedelai AS jelas-jelas hasil rekayasa gen. Di AS diperkirakan, sekitar 60% dari makanan olahan di pasar swalayan – mulai dari sereal untuk sarapan hingga softdrink – terutama yang berbahan kedelai, jagung, atau kanola. Begitu pula sayuran segar merupakan produk tanaman transgenik. Produk makanan dari bahan transgenik juga dipasarkan di beberapa negara, kecuali negara Eropa yang saat ini sudah menolak produk makanan dari bahan transgenik terutama dari Amerika Serikat (Scientific American, April 2001).

D. Penemu tanaman transgenik

Herbert Boyer dan Stanley Cohen pada tahun 1973 berhasil untuk pertama kalinya mengembangkan tanaman transgenik.

E. Pro dan Kontra Tanaman Transgenik

Perkembangan transgenik yang luar biasa di 3 tahun terakhir membawa kekawatiran dan persepsi masyarakat umum. Kekhawatiran dan persepsi ini telah muncul lebih seperempat abad lalu setelah Herbert Boyer dan Stanley Cohen pada tahun 1973 berhasil untuk pertama kalinya mengembangkan transgenik, meskipun secara alamiah rekombinasi DNA sebenarnya juga terjadi (BPPT, 2000).
Tanaman transgenik ini menjadi pro dan kontra bagi masyarakat di dunia karena belum adanya penjelasan yang tepat mengenai aman atau tidaknya tanaman transgenik untuk dikonsumsi oleh manusia. Dengan demikian, muncul pandangan-pandangan dari beberapa kelompok yang setuju (pro) terhadap tanaman transgenik dan juga dari beberapa kelompok yang menentang (kontra) terhadap tanaman transgenik. Beberapa pandangan dari kedua kelompok tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pandangan kelompok yang setuju tanaman transgenik.

Beberapa kelompok yang setuju dengan tanaman transgenik menganggap bahwa tanaman transgenik memiliki kualitas lebih dibanding tanaman konvensional, kandungan nutrisi lebih tinggi, tahan hama, tahan cuaca, umur pendek, dan sebagainya, sehingga penanaman komoditas tersebut dapat memenuhi kebutuhan pangan secara cepat dan menghemat devisa akibat penghematan pemakaian pestisida atau bahan kimia lain serta tanaman transgenik produksi lebih baik. Selain itu, teknik rekayasa genetika sama dengan pemuliaan tanaman yaitu memperbaiki sifat-sifat tanaman dengan menambah sifat-sifat ketahanan terhadap cekaman hama maupun lingkungan yang kurang menguntungkan sehingga tanaman transgenik memiliki kualitas lebih baik dari tanaman konvensional, serta bukan hal baru karena sudah lama dilakukan tetapi tidak disadari oleh masyarakat. Tanaman transgenik dianggap dapat mengurangi dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan misalnya tanaman transgenik tidak perlu pupuk kimia, tidak perlu pestisida, dan lain-lain. Sehingga tanaman transgenik dapat membantu upaya perbaikan lingkungan.

2. Pandangan kelompok yang tidak setuju tanaman transgenik

Beberapa kelompok yang tidak setuju tanaman transgenik menganggap bahwa tanaman transgenik yang dapat menyebabkan kemungkinan bahaya pencemaran biologis mahluk hidup lain, penyelewengan sifat toksin, munculnya alergi yang tidak diketahui dan antibiotic. Mereka menganggap bahwa bioteknologi rekayasa genetika bukan soal meningkatkan produksi pangan semata, tetapi lebih merupakan eksploitasi kehidupan dan sistem pendukung kehidupan demi mencari keuntungan.

F. Kelebihan dan Kekurangan Tanaman Transgenik

Tanaman transgenik yang selama ini diperdebatkan oleh berbagai kalangan di dunia, memiliki kelebihan dan kekurangan baik di bidang pertanian, peternakan, kesehatan maupun dari aspek sosial dan agama.

a. Kelebihan tanaman transgenik

1. Bidang Pertanian

Aplikasi teknologi DNA rekombinan di bidang pertanian berkembang pesat dengan dimungkinkannya transfer gen asing ke dalam tanaman dengan bantuan bakteri Agrobacterium tumefaciens. Melalui cara ini telah berhasil diperoleh sejumlah tanaman transgenik seperti tomat dan tembakau dengan sifat-sifat yang diinginkan, misalnya perlambatan kematangan buah dan resistensi terhadap hama dan penyakit tertentu.

Pada dasarnya rekayasa genetika di bidang pertanian bertujuan untuk menciptakan ketahanan pangan suatu negara dengan cara meningkatkan produksi, kualitas, dan upaya penanganan pascapanen serta prosesing hasil pertanian. Peningkatkan produksi pangan melalui revolusi gen ini ternyata memperlihatkan hasil yang jauh melampaui produksi pangan yang dicapai dalam era revolusi hijau. Di samping itu, kualitas gizi serta daya simpan produk pertanian juga dapat ditingkatkan sehingga secara ekonomi memberikan keuntungan yang cukup nyata. Adapun dampak positif yang sebenarnya diharapkan akan menyertai penemuan produk pangan hasil rekayasa genetika adalah terciptanya keanekaragaman hayati yang lebih tinggi.

2. Bidang Peternakan

Di bidang peternakan hampir seluruh faktor produksi telah tersentuh oleh teknologi DNA rekombinan, misalnya penurunan morbiditas penyakit ternak serta perbaikan kualitas pakan dan bibit. Vaksin-vaksin untuk penyakit mulut dan kuku pada sapi, rabies pada anjing, blue tongue pada domba, white-diarrhea pada babi, dan fish-fibrosis pada ikan telah diproduksi menggunakan teknologi DNA rekombinan. Di samping itu, juga telah dihasilkan hormon pertumbuhan untuk sapi (recombinant bovine somatotropine atau rBST), babi (recombinant porcine somatotropine atau rPST), dan ayam (chicken growth hormone). Penemuan ternak transgenik yang paling menggegerkan dunia adalah ketika keberhasilan kloning domba Dolly diumumkan pada tanggal 23 Februari 1997.

3. Perkebunan, kehutanan, dan florikultur

Perkebunan kelapa sawit transgenik dengan minyak sawit yang kadar karotennya lebih tinggi saat ini mulai dirintis pengembangannya. Begitu pula, telah dikembangkan perkebunan karet transgenik dengan kadar protein lateks yang lebih tinggi dan perkebunan kapas transgenik yang mampu menghasilkan serat kapas berwarna yang lebih kuat.

Di bidang kehutanan telah dikembangkan tanaman jati transgenik, yang memiliki struktur kayu lebih baik. Sementara itu, di bidang florikultur antara lain telah diperoleh tanaman anggrek transgenik dengan masa kesegaran bunga yang lama. Demikian pula, telah dapat dihasilkan beberapa jenis tanaman bunga transgenik lainnya dengan warna bunga yang diinginkan dan masa kesegaran bunga yang lebih panjang.
Sentuhan teknologi DNA rekombinan pada florikultur antara lain dilakukan dengan mengisolasi dan memanipulasi gen biru dan gen etilen biru sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Di Amerika Serikat dan Eropa bibit violet carnation akan diproduksi melalui teknik rekayasa genetika. Bibit violet carnation transgenik ini disebut dengan moonshadow. Bunga moonshadow memiliki sangat sedikit benang sari, dan bahkan sesudah dipotong bunga tidak mempunyai benang sari lagi sehingga kemungkinan perpindahan gen ke tanaman lain dapat dicegah.

4. Bidang Kesehatan

Di bidang kesehatan, rekayasa genetika terbukti mampu menghasilkan berbagai jenis obat dengan kualitas yang lebih baik sehingga memberikan harapan dalam upaya penyembuhan sejumlah penyakit di masa mendatang. Bahan-bahan untuk mendiagnosis berbagai macam penyakit dengan lebih akurat juga telah dapat dihasilkan.

Teknik rekayasa genetika memungkinkan diperolehnya berbagai produk industri farmasi penting seperti insulin, interferon, dan beberapa hormon pertumbuhan dengan cara yang lebih efisien. Hal ini karena gen yang bertanggung jawab atas sintesis produk-produk tersebut diklon ke dalam sel inang bakteri tertentu yang sangat cepat pertumbuhannya dan hanya memerlukan cara kultivasi biasa.

Berbagai macam vaksin juga telah diproduksi menggunakan teknik rekayasa genetika, misalnya vaksin herpes, vaksin hepatitis B, vaksin lepra, vaksin malaria, dan vaksin kolera. Kecuali vaksin kolera, vaksin-vaksin tersebut dapat diproduksi dengan lebih efisien dan dalam jumlah yang lebih besar daripada produksi secara konvensional. Penggunaan vaksin malaria sangat diperlukan karena banyak nyamuk malaria yang saat ini sudah resisten terhadap DDT.

Contoh lain kontribusi potensial rekayasa genetika di bidang kesehatan yang hingga kini masih menjadi tantangan besar bagi para peneliti dari kalangan kedokteran dan ahli biologi molekuler adalah upaya terapi gen untuk mengatasi penyakit-penyakit seperti kanker dan sindrom hilangnya kekebalan bawaan atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Begitu juga, berkembangnya resistensi bakteri patogen terhadap antibiotik masih membuka peluang penelitian rekayasa genetika di bidang kesehatan.

5. Lingkungan

Rekayasa genetika ternyata sangat berpotensi untuk diaplikasikan dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati, bahkan dalam bioremidiasi lingkungan yang sudah terlanjur rusak. Dewasa ini berbagai strain bakteri yang dapat digunakan untuk membersihkan lingkungan dari bermacam-macam faktor pencemaran telah ditemukan dan diproduksi dalam skala industri. Sebagai contoh, sejumlah pantai di salah satu negara industri dilaporkan telah tercemari oleh metilmerkuri yang bersifat racun keras baik bagi hewan maupun manusia meskipun dalam konsentrasi yang kecil sekali. Detoksifikasi logam air raksa (merkuri) organik ini dilakukan menggunakan tanaman Arabidopsis thaliana transgenik yang membawa gen bakteri tertentu yang dapat menghasilkan produk untuk mendetoksifikasi air raksa organik.

6. Industri

Pada industri pengolahan pangan, misalnya pada pembuatan keju, enzim renet yang digunakan juga merupakan produk organisme transgenik. Hampir 40% keju keras (hard cheese) yang diproduksi di Amerika Serikat menggunakan enzim yang berasal dari organisme transgenik. Demikian pula, bahan-bahan food additive seperti penambah cita rasa makanan, pengawet makanan, pewarna pangan, pengental pangan, dan sebagainya saat ini banyak menggunakan produk organisme transgenik.

b. Kekurangan tanaman transgenik

1. Aspek sosial

Aspek agama

Penggunaan gen yang berasal dari babi untuk memproduksi bahan makanan dengan sendirinya akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemeluk agama Islam. Demikian pula, penggunaan gen dari hewan dalam rangka meningkatkan produksi bahan makanan akan menimbulkan kekhawatiran bagi kaum vegetarian, yang mempunyai keyakinan tidak boleh mengonsumsi produk hewani. Sementara itu, kloning manusia, baik parsial (hanya organ-organ tertentu) maupun seutuhnya, apabila telah berhasil menjadi kenyataan akan mengundang kontroversi, baik dari segi agama maupun nilai-nilai moral kemanusiaan universal. Demikian juga, xenotransplantasi (transplantasi organ hewan ke tubuh manusia) serta kloning stem cell dari embrio manusia untuk kepentingan medis juga dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma agama.

Aspek etika dan estetika

Penggunaan bakteri E coli sebagai sel inang bagi gen tertentu yang akan diekspresikan produknya dalam skala industri, misalnya industri pangan, akan terasa menjijikkan bagi sebagian masyarakat yang hendak mengonsumsi pangan tersebut. Hal ini karena E coli merupakan bakteri yang secara alami menghuni kolon manusia sehingga pada umumnya diisolasi dari tinja manusia.

2. Aspek ekonomi

Berbagai komoditas pertanian hasil rekayasa genetika telah memberikan ancaman persaingan serius terhadap komoditas serupa yang dihasilkan secara konvensional. Penggunaan tebu transgenik mampu menghasilkan gula dengan derajad kemanisan jauh lebih tinggi daripada gula dari tebu atau bit biasa. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran bagi masa depan pabrik-pabrik gula yang menggunakan bahan alami. Begitu juga, produksi minyak goreng canola dari tanaman rapeseeds transgenik dapat berpuluh kali lipat bila dibandingkan dengan produksi dari kelapa atau kelapa sawit sehingga mengancam eksistensi industri minyak goreng konvensional. Di bidang peternakan, enzim yang dihasilkan oleh organisme transgenik dapat memberikan kandungan protein hewani yang lebih tinggi pada pakan ternak sehingga mengancam keberadaan pabrik-pabrik tepung ikan, tepung daging, dan tepung tulang.

2. Aspek kesehatan

Potensi toksisitas bahan pangan

Dengan terjadinya transfer genetik di dalam tubuh organisme transgenik akan muncul bahan kimia baru yang berpotensi menimbulkan pengaruh toksisitas pada bahan pangan. Sebagai contoh, transfer gen tertentu dari ikan ke dalam tomat, yang tidak pernah berlangsung secara alami, berpotensi menimbulkan risiko toksisitas yang membahayakan kesehatan. Rekayasa genetika bahan pangan dikhawatirkan dapat mengintroduksi alergen atau toksin baru yang semula tidak pernah dijumpai pada bahan pangan konvensional. Di antara kedelai transgenik, misalnya, pernah dilaporkan adanya kasus reaksi alergi yang serius. Begitu pula, pernah ditemukan kontaminan toksik dari bakteri transgenik yang digunakan untuk menghasilkan pelengkap makanan (food supplement) triptofan. Kemungkinan timbulnya risiko yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan terkait dengan akumulasi hasil metabolisme tanaman, hewan, atau mikroorganisme yang dapat memberikan kontribusi toksin, alergen, dan bahaya genetik lainnya di dalam pangan manusia.

Beberapa organisme transgenik telah ditarik dari peredaran karena terjadinya peningkatan kadar bahan toksik. Kentang Lenape (Amerika Serikat dan Kanada) dan kentang Magnum Bonum (Swedia) diketahui mempunyai kadar glikoalkaloid yang tinggi di dalam umbinya. Demikian pula, tanaman seleri transgenik (Amerika Serikat) yang resisten terhadap serangga ternyata memiliki kadar psoralen, suatu karsinogen, yang tinggi.

Potensi menimbulkan penyakit/gangguan kesehatan

WHO pada tahun 1996 menyatakan bahwa munculnya berbagai jenis bahan kimia baru, baik yang terdapat di dalam organisme transgenik maupun produknya, berpotensi menimbulkan penyakit baru atau pun menjadi faktor pemicu bagi penyakit lain. Sebagai contoh, gen aad yang terdapat di dalam kapas transgenik dapat berpindah ke bakteri penyebab kencing nanah (GO), Neisseria gonorrhoeae. Akibatnya, bakteri ini menjadi kebal terhadap antibiotik streptomisin dan spektinomisin. Padahal, selama ini hanya dua macam antibiotik itulah yang dapat mematikan bakteri tersebut. Oleh karena itu, penyakit GO dikhawatirkan tidak dapat diobati lagi dengan adanya kapas transgenik. Dianjurkan pada wanita penderita GO untuk tidak memakai pembalut dari bahan kapas transgenik.

Contoh lainnya adalah karet transgenik yang diketahui menghasilkan lateks dengan kadar protein tinggi sehingga apabila digunakan dalam pembuatan sarung tangan dan kondom, dapat diperoleh kualitas yang sangat baik. Namun, di Amerika Serikat pada tahun 1999 dilaporkan ada sekitar 20 juta penderita alergi akibat pemakaian sarung tangan dan kondom dari bahan karet transgenik.

Selain pada manusia, organisme transgenik juga diketahui dapat menimbulkan penyakit pada hewan. A. Putzai di Inggris pada tahun 1998 melaporkan bahwa tikus percobaan yang diberi pakan kentang transgenik memperlihatkan gejala kekerdilan dan imunodepresi. Fenomena yang serupa dijumpai pada ternak unggas di Indonesia, yang diberi pakan jagung pipil dan bungkil kedelai impor. Jagung dan bungkil kedelai tersebut diimpor dari negara-negara yang telah mengembangkan berbagai tanaman transgenik sehingga diduga kuat bahwa kedua tanaman tersebut merupakan tanaman transgenik.

4. Aspek lingkungan

Potensi erosi plasma nutfah

Penggunaan tembakau transgenik telah memupus kebanggaan Indonesia akan tembakau Deli yang telah ditanam sejak tahun 1864. Tidak hanya plasma nutfah tanaman, plasma nutfah hewan pun mengalami ancaman erosi serupa. Sebagai contoh, dikembangkannya tanaman transgenik yang mempunyai gen dengan efek pestisida, misalnya jagung Bt, ternyata dapat menyebabkan kematian larva spesies kupu-kupu raja (Danaus plexippus) sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan keseimbangan ekosistem akibat musnahnya plasma nutfah kupu-kupu tersebut. Hal ini terjadi karena gen resisten pestisida yang terdapat di dalam jagung Bt dapat dipindahkan kepada gulma milkweed (Asclepia curassavica) yang berada pada jarak hingga 60 m darinya. Daun gulma ini merupakan pakan bagi larva kupu-kupu raja sehingga larva kupu-kupu raja yang memakan daun gulma milkweed yang telah kemasukan gen resisten pestisida tersebut akan mengalami kematian. Dengan demikian, telah terjadi kematian organisme nontarget, yang cepat atau lambat dapat memberikan ancaman bagi eksistensi plasma nutfahnya.

Potensi pergeseran gen

Daun tanaman tomat transgenik yang resisten terhadap serangga Lepidoptera setelah 10 tahun ternyata mempunyai akar yang dapat mematikan mikroorganisme dan organisme tanah, misalnya cacing tanah. Tanaman tomat transgenik ini dikatakan telah mengalami pergeseran gen karena semula hanya mematikan Lepidoptera tetapi kemudian dapat juga mematikan organisme lainnya. Pergeseran gen pada tanaman tomat transgenik semacam ini dapat mengakibatkan perubahan struktur dan tekstur tanah di areal pertanamannya.

Potensi pergeseran ekologi

Organisme transgenik dapat pula mengalami pergeseran ekologi. Organisme yang pada mulanya tidak tahan terhadap suhu tinggi, asam atau garam, serta tidak dapat memecah selulosa atau lignin, setelah direkayasa berubah menjadi tahan terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut. Pergeseran ekologi organisme transgenik dapat menimbulkan gangguan lingkungan yang dikenal sebagai gangguan adaptasi.

Tanaman transgenik dapat menghasilkan protease inhibitor di dalam sari bunga sehingga lebah madu tidak dapat membedakan bau berbagai sari bunga. Hal ini akan mengakibatkan gangguan ekosistem lebah madu di samping juga terjadi gangguan terhadap madu yang diproduksi.

Potensi terbentuknya barrier species

Adanya mutasi pada mikroorganisme transgenik menyebabkan terbentuknya barrier species yang memiliki kekhususan tersendiri. Salah satu akibat yang dapat ditimbulkan adalah terbentuknya superpatogenitas pada mikroorganisme.

Potensi mudah diserang penyakit

Tanaman transgenik di alam pada umumnya mengalami kekalahan kompetisi dengan gulma liar yang memang telah lama beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan yang buruk. Hal ini mengakibatkan tanaman transgenik berpotensi mudah diserang penyakit dan lebih disukai oleh serangga.

Sebagai contoh, penggunaan tanaman transgenik yang resisten terhadap herbisida akan mengakibatkan peningkatan kadar gula di dalam akar. Akibatnya, akan makin banyak cendawan dan bakteri yang datang menyerang akar tanaman tersebut. Dengan perkataan lain, terjadi peningkatan jumlah dan jenis mikroorganisme yang menyerang tanaman transgenik tahan herbisida. Jadi, tanaman transgenik tahan herbisida justru memerlukan penggunaan pestisida yang lebih banyak, yang dengan sendirinya akan menimbulkan masalah tersendiri bagi lingkungan.

– Ratih Kurniasih-

“dikutip dari berbagai sumber”

Sebuah Harapan di Lahan Kritis..

Posted: November 27, 2009 in handschrift
Tags:

Saya merasa amat terkesan dengan kegigihan Bapak Subandi, seorang Ketua Kelompok Tani di Pantai Samas, alumni mahasiswa Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, saat menjelaskan bagaimana perjuangannya mengubah lahan kritis di sepanjang Pantai Samas sehingga dapat memberikan kesejahteraan petani di daerah sana.

Lahan di sepanjang Pantai Selatan khususnya Pantai Samas merupakan lahan yang sangat kritis yang pada awal mulanya hanya merupakan gurun pasir. Keinginan beliau untuk memberikan kesejahteraan bagi penduduk sekitar yang saat itu merupakan daerah termiskin kedua di Indonesia, berhasil mengubah lahan marginal ini menjadi lahan yang menghasilkan. Dari awalnya hanya mencoba-coba sampai pada akhirnya beliau melakukan rekayasa lahan dengan cara menggunakan tanah lempung dengan dosis 50 ton/ha yang dicampur dengan kompos 30 ton/ha. Cara yang mudah dan terbukti efektif dalam meningkatkan hasil produksi pertanian di daerah tersebut. Beliau menggunakan pupuk kimia hanya sebagai starter awal, setelah itu sepenuhnya pupuk organik. Karena apabila pupuk kimia digunakan secara terus menerus justru akan membakar tanaman.

Dahulu, daerah ini hanya merupakan gurun pasir yang tidak ditanami apa-apa. Akan tetapi, setelah adanya rekayasa lahan dari beliau, daerah ini dapat ditanami dengan berbagai macam tanaman hortikultura misalnya jagung, semangka, cabai, tomat, bawang merah dan sebagainya. Beliau dapat memproduksi bawang merah pada musim tanam pertama sebanyak 16,2 ton/ha dan 22,7 ton/ha pada musim tanam kedua. Hasil produksi pertanian ini pun tidak semata-mata hanya dijual di pasaran, akan tetapi beliau melakukan kerjasama/kontrak dengan perusahaan-perusahaan.

Lahan yang digarap beliau dan petani lainnya ini merupakan lahan milik keraton dimana tidak ada pungutan, pajak, atau biaya sewa sama sekali. Sehingga menambah eksistensi beliau untuk mengembangkan lahan yang ada demi kesejahteraan penduduk di daerah tersebut.

Banyak pelajaran yang dapat saya ambil dari penjelasan singkat ini. “Sesuatu hal yang sangat buruk atau minus sekalipun dapat menjadi baik bahkan lebih baik apabila ada niat, kegigihan, usaha dan perjuangan”.

Karangwaru, 20 November 2009

“Disampaikan pada saat kegiatan lapangan acara PILMITANAS 2009 pada tanggal 18 November 2009 di Pantai Samas”

(Ratih Kurniasih Nurachman)

Latar Belakang

Pemanfaatan bahan-bahan organik berupa kayu, sekam, jerami, tempurung kelapa untuk dijadikan biochar dilatar belakangi oleh kandungan bahan organik tanah yang masih rendah di Australia dan juga di Indonesia. Bahan organik yang terkandung di dalam tanah—yang memang dari asalnya sudah rendah maupun menjadi berkurang akibat dari panen, pengolahan tanah dan pembakaran—perlu ditingkatkan kembali karena merupakan komponen penting dalam proses pertumbuhan tanaman dan ketersediaan unsur hara di dalam tanah.
Biochar mirip dengan arang, dari bentuk dan warnanya serta bahan baku pembuatannya. Hanya saja biochar berbeda dengan arang dalam hal fungsinya dan proses pembuatannya. Sebenarnya, arang sudah lama digunakan oleh orangtua dahulu untuk bidang pertanian, hanya saja tidak dipublishkan. Saat ini, biochar menjadi menarik lagi untuk lebih diteliti agar pemanfaatannya dapat lebih ditingkatkan khususnya di bidang pertanian.
Apa itu Biochar?
Di bidang pertanian, biochar digunakan sebagai bahan ameliorant tanah bukan sebagai pupuk. Biochar mirip dengan arang dilihat dari bentuk dan warnanya yang hitam. Biochar mengandung karbon (C) yang tinggi yaitu lebih dari 50%. Biochar tidak mengalami pelapukan lanjut sehingga apabila diaplikasikan di dalam tanah, dapat dalam jangka waktu yang lama sampai berjuta-juta tahun. Biochar juga dapat digunakan dalam hal me-manage limbah misalnya saja sampah kota. Sampah kota tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pembuat biochar walaupun tidak sebagus dengan biochar yang terbuat dari kayu—terutama kayu dengan kadar lignin yang tinggi yang merupakan bahan baku yang paling bagus untuk digunakan sebagai biochar karena mengandung karbon yang tinggi—dimana sampah kota masih ada kontaminasi logam-logam berat yang justru akan membahayakan bagi tanaman maupun bagi manusia.
Selain itu, biochar dapat menghasilkan energy production. Biochar dibuat dari proses pembakaran secara lambat, dimana panas akan menghasilkan energi yang kemudian dapat digunakan sebagai biofuel.
Kandungan karbon biochar berbeda-beda tergantung dari bahan baku pembuatnya. Bahan baku pembuat biochar yang dari kayu terutama kayu dengan kandungan lignin tinggi (serat tinggi), akan menghasilkan karbon yang tinggi pula, serta pelapukan di dalam tanah juga lebih lama dibandingkan dengan biochar yang terbuat dari jerami dan atau sekam padi.
Biochar memiliki sifat fisik yaitu luas permukaan besar sehingga pori-porinya banyak dan density-nya tinggi karena kemampuan mengikat airnya tinggi.
Di Australia, sudah banyak peneliti yang mengembangkan biochar sebagai bahan ameliorant tanah. Yang mendorong para peneliti mengembangkan biochar di Negara tersebut yaitu karena terdapat 3 musim di Australia, yaitu musim panas, musim dingin dan musim semi—dimana kandungan bahan organik tanah di Australia termasuk rendah (<1%)—dengan adanya 3 musim semi tersebut sudah dapat dipastikan kandungan bahan organik tanah pun menjadi berubah-ubah. Pada saat musim panas, mikroorganisme di dalam tanah menjadi aktif sehingga bahan organik menjadi berkurang karena suhu yang terlalu tinggi sedangkan pada saat musim dingin bahan organik tanah menjadi meningkat kembali karena suhu lembab yang dibutuhkan mikroorganisme tanah sudah didapatkan. Selain itu, curah hujan di Australia hanya 600 mm/tahun, sehingga penggunaan air perlu diefisienkan semaksimal mungkin.
Di Vietnam misalnya, dengan kondisi tanah yang berupa pasiran, biochar digunakan sebagai bahan ameliorasi. Mereka mengembangkan tanaman jambu mete, dimana biochar digunakan mengelilingi pohon (seluas naungan pohon tersebut), dengan menggunakan partial irrigation atau irigasi setengah—irigasi pertama pada bagian kanan tanaman, irigasi kedua pada bagian kiri tanaman—sehingga pada akhirnya dapat menghemat penggunaan air.
Biochar ini juga dapat meningkatkan kandungan nitrogen di dalam tanah karena memiliki KPK (kapasitas pertukaran kation) yang tinggi.
Hanya saja, peneliti di Australia saat ini masih melakukan percobaan-percobaan lagi berkaitan dengan lama pembakaran yang optimum, bahan baku pembuat yang benar-benar bagus, dosis optimum untuk digunakan di lahan. Hanya temperature pembakaran yang optimum yang sudah dapat dipastikan yaitu pada temperature 450-550’C. apabila lebih dari 550’C, kandungan N akan turun akibat volatilisasi.
Pro dan kontra
Dengan adanya biochar sebagai temuan yang tidak bersifat baru namun sebagai temuan yang lebih dikembangkan, ternyata menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat umum maupun pihak-pihak yang bersangkutan dari berbagai fokus studi yang berbeda.
Di bidang pertanian tentu saja ini sangat positif karena ditemukan kembali inovasi-inovasi baru yang bersifat membangun. Walaupun, masih juga adanya pro dan kontra di bidang pertanian. Mungkin tidak bisa juga disebut sebagai kontra, namun yang lebih tepatnya adalah adanya pihak-pihak yang senantiasa membandingkan teknologi ini dengan teknologi terdahulu yang dianggap lebih mudah dan lebih baik sehingga pada akhirnya malah “menjatuhkan” teknologi yang baru.
Di bidang pertanian, biochar dimanfaatkan sebagai bahan ameliorant tanah atau bahan pembenah tanah. Memang selama ini sudah banyak sekali dikenal bahan ameliorant tanah yang terdapat di sekitar kita, yaitu kapur, Legume Cover Crops, dan yang sekarang sedang berkembang juga adalah zeolit. Biochar ini tidak dapat dikatakan sebagai pupuk organik, karena biochar tidak dapat menambah unsur hara dari kandungan yang terdapat di dalamnya, hanya saja KPK (kapasitas pertukaran kation) pada biochar ini tinggi sehingga mampu mengikat kation-kation tanah yang dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan tanaman. Biochar ini juga memiliki pori-pori yang banyak karena luas permukaan yang besar, sehingga memiliki daya ikat air yang tinggi.
Walaupun biochar bukanlah pupuk, akan tetapi biochar ini dapat digunakan sebagai bahan campuran pupuk, seperti halnya zeolit.
Fungsi biochar yang hanya sebagai bahan pembenah tanah inilah yang menjadikan pihak-pihak lain membandingkan dengan kompos, sebuah inovasi terdahulu yang sampai saat ini masih bertahan digunakan oleh petani-petani.
Dengan kemunculan sebuah inovasi baru, seharusnya hal tersebut ditanggapi dengan positif. Boleh saja membandingkan dengan inovasi-inovasi yang sebelumnya dengan tujuan untuk lebih menyempurnakan teknologi yang baru. Seperti halnya biochar yang dibandingkan dengan kompos, memang sangat berbeda dalam hal kepraktisan pembuatannya, bahan bakunya dan dampak yang diakibatkan pada saat proses pembuatan. Memang kompos lebih unggul daripada biochar. Memang saya pun mengakui itu. Hanya saja, sebagai seorang (calon) peneliti di bidang pertanian, hal itu justru tidak menjadi kontra yang bersifat negatif melulu. Dengan adanya tanggapan yang demikian, saya berpikir, biochar bisa saja dicampur dengan kompos dan atau pupuk kandang sehingga bisa lebih efisien. Ya, that’s good idea! Dan juga selain itu dapat dicampur dengan pupuk anorganik dalam presentase yang lebih kecil—seperti penelitian yang sedang saya lakukan saat ini (kombinasi pupuk kandang, pupuk anorganik dan zeolit) sehingga penggunaan pupuk anorganik dapat berkurang secara perlahan sampai akhirnya semua yang digunakan bersifat organik.
Dilihat dari bahan baku pembuatan biochar—yang kemudian menjadi kontra yang paling dominan, dimana biochar ini berasal dari bahan-bahan organik misalnya kayu, jerami, sekam, tempurung kelapa, dikhawatirkan nantinya justru akan merugikan salah satu pihak. Untuk bahan baku yang berasal dari kayu, ini sangat rentan terhadap kontra. Dikhawatirkan, dengan adanya ketertarikan dari berbagai pihak untuk memproduksi biochar, justru mereka akan memanfaatkan kayu di hutan secara berlebihan, sehingga akibatnya hutan menjadi gundul, erosi tanah meningkat, terjadinya global warming dan sebagainya.
Untuk bahan baku yang berasal dari sekam dan jerami juga tidak dapat digunakan berlebih-lebihan. Akibatnya, sekam dan jerami yang biasanya digunakan sebagai mulsa organik akan berkurang. Selain itu, lahan tidak boleh dibiarkan sangat terbuka, dengan tidak adanya bahan penutup tanah, sehingga jerami dan sekam yang akan digunakan untuk biochar pun hanya beberapa persen saja yang dapat digunakan.
Hal ini tidak boleh terjadi, karena untuk memproduksi suatu teknologi yang baru, harus seimbang dan menguntungkan semua pihak, bukan salah satu pihak saja.
Lantas apa yang harus dilakukan? Sebenarnya untuk permasalahan di atas, hanya ada satu hal yang harus diselesaikan. Yaitu bahan baku pembuat biochar itu sendiri. Bahan baku yang digunakan harus berupa bahan baku yang tahan terhadap pelapukan dalam jangka waktu yang lama dan juga yang dapat menghasilkan karbon yang tinggi. Akan tetapi, selain itu, bahan baku yang digunakan tidak akan merugikan salah satu pihaknya, terutama tidak merusak/mengganggu lingkungan. Hanya saja, hal itu masih cukup sulit untuk dicari solusinya, walaupun sudah ada beberapa orang yang memiliki ide yang kreatif seperti penggunaan tulang ayam/ayam mati untuk dijadikan biochar, kayu jati yang digunakan sebagai bahan pembakaran pembuatan genteng, namun hal tersebut masih harus diteliti lebih lanjut, baik analisis bahan baku yang terbaik dan juga analisis ekonominya. Suatu teknologi baru perlu dipikirkan pula analisis ekonominya, bagaimana output dan inputnya.
Kontra selanjutnya, asap yang dihasilkan dari pembakaran biochar dapat menghasilkan gas emisi yang berbahaya, dan dapat mencemari lingkungan. Ini juga yang menjadi permasalahan utama. Beberapa peralatan sederhana yang digunakan untuk pembakaran pembuatan biochar, sampai saat ini masih mengeluarkan asap yang cukup banyak. Walaupun ada beberapa peralatan yang cukup sempurna untuk pembakaran pembuatan biochar, belum mampu mengeliminasi gas emisi yang dihasilkan, tetapi masih sebatas mengurangi saja. Untuk itu, perlunya alat yang lebih sempurna untuk pembakaran pembuatan biochar, sehingga semua pihak dapat diuntungkan. Dari itu, seperti yang disampaikan oleh Dr. Malem K. Mc Leod, kerjasama dengan para engineer dari Fakultas Teknik, sangat diperlukan. Suatu teknologi baru yang akan dikembangkan, perlu adanya dukungan dari Pemerintah, masyarakat dan berbagai pihak yang terkait di dalamnya serta dicari win-win-solutionnya sehingga pada akhirnya menguntungkan bagi semua pihak.

Panti Rapih, 7 November 2009

*sebagian informasi didapatkan dari hasil mengikuti kuliah tamu dengan pembicara Dr. Malem K. Mc Leod, di Ruang Seminar Gedung A1, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, pada tanggal 6 November 2009*

(Ratih Kurniasih Nurachman)

Konsep pertanian berkelanjutan pada dasarnya adalah pertanian berwawasan lingkungan. Dimana pertanian berwawasan lingkungan ini tidak hanya memperhatikan dari segi tanah, air dan tanaman saja, melainkan juga dari segi manusia, hewan, makanan, pendapatan petani dan juga kesehatan. Tujuan dari pertanian berwawasan lingkungan tak lain adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan keanekaragaman ekosistem hayati misalnya musuh alami hama dan penyakit, juga tak lain untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan manusia dan juga makhluk hidup lainnya. Dengan kata lain, pertanian berwawasan lingkungan merujuk kepada pertanian yang ramah lingkungan.

Pertanian yang ramah lingkungan dapat dicapai dengan jalan menerapkan pertanian organik. Dimana pertanian organik ini sendiri merupakan sistem pertanian yang dimanage untuk menghindari penggunaan pupuk anorganik, pestisida kimia dan hasil dari rekayasa genetik. Dengan kata lain, pertanian organik adalah pertanian yang benar-benar alami, terbebas dari bahan-bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan berupa air, tanah dan udara, juga untuk menghindari bahaya keracunan makanan akibat residu pestisida kimia yang berlebihan.

Akan tetapi, di Indonesia sendiri, belum banyak petani yang menerapkan sistem pertanian organik. Belum terealisasinya hal ini, dikarenakan kesulitan petani itu sendiri dalam menerapkan pertanian organik. Perlu diketahui, untuk menjadi pertanian yang benar-benar organik, tidak hanya harus menghindari penggunaan pupuk dan pestisida kimia, akan tetapi lahan yang digunakan untuk bercocok tanam harus benar-benar terbebas dari residu bahan-bahan kimia yang sebelumnya pernah digunakan. Agar supaya lahan-lahan tersebut terbebas dari residu bahan-bahan kimia, biasanya lahan “diistirahatkan” atau dengan kata lain tidak ditanami apapun selama kurang lebih 2 tahun atau sampai benar-benar tidak ada lagi residu bahan-bahan kimia yang digunakan pada lahan sebelumnya. Selain itu, lahan yang digunakan untuk pertanian organik sebisa mungkin tidak bersebelahan dengan pertanian non organik. Karena ditakutkan akan terjadi kontaminasi akan pupuk anorganik melalui run off dan atau aliran permukaan dan juga kontaminasi pestisida kimia melalui angin. Hal-hal seperti ini yang mengakibatkan kurangnya minat petani terhadap sistem pertanian organik karena kebiasaan petani untuk menggunakan lahan pertanian secara terus menerus dan perlunya investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan-bahan kimia.

Selain itu, kesulitan dalam hal pemasaran hasil pertanian organik — belum adanya kepastian pasar — menjadi penyebab realisasi sistem pertanian organik ini menjadi terhambat. Fakta sebenarnya, hasil pertanian organik ini lebih tinggi harga jualnya dibandingkan dengan hasil pertanian non organik. Akan tetapi, daya beli masyarakat pada umumnya, yang cenderung membeli hasil pertanian non organik dengan harga yang murah, menyurutkan “nyali” petani untuk beralih ke sistem pertanian organik dan pada akhirnya tetap pada sistem pertanian non organik.

Kecenderungan masyarakat untuk tidak beralih mengkonsumsi hasil produk pertanian organik juga dikarenakan adanya keraguan pada pihak konsumen pada produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik akan tetapi tidak ada sertifikasi dari Pemerintah. Saat ini negara-negara pengimpor sudah memiliki standar mutu pada produk-produk hasil pertanian organik. Produk-produk pertanian organik yang masih mengandung residu bahan-bahan kimia, langsung dikirim kembali kepada negara pengekspor, termasuk Indonesia. Untuk itu diperlukan adanya sertifikasi sebelum produk itu diperjualbelikan ke masyarakat, apalagi untuk diekspor ke negara-negara lain.

Penghambat terealisasinya sistem pertanian organik yang lain yaitu kecenderungan petani memakai pupuk anorganik dan pestisida kimia seperti sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Dikarenakan pupuk anorganik cepat menyediakan hara bagi tanaman dan juga pestisida kimia cepat memberantas hama penyakit yang mengganggu tanaman, membuat mereka tetap pada sistem pertanian non organik. Untuk menerapkan pertanian organik, pupuk yang harus digunakan adalah pupuk organik. Padahal belum semua petani di Indonesia dapat membuat sendiri pupuk organik tersebut. Dan juga banyak dari mereka belum mengetahui pestisida-pestisida hayati dan alami yang dapat dipergunakan untuk memberantas hama penyakit. Kecenderungan petani untuk mendapatkan hasil produksi pertanian setinggi-tingginya, tanpa memikirkan akibatnya di masa yang akan datang inilah yang menjadikan sistem pertanian organik patut untuk lebih diperjuangkan di hadapan para petani di Indonesia.

Tentunya petani tidak bisa disalahkan begitu saja. Untuk mewujudkan terealisasinya sistem pertanian organik demi terwujudnya pertanian berkelanjutan, peran Pemerintah dan Instansi di bidang pertanian sangatlah penting. Peran pemerintah dalam hal sertifikasi tentu sangat diharapkan agar pihak konsumen memiliki kepercayaan terhadap hasil produk pertanian organik sehingga pada akhirnya petani mau mengupayakan menerapkan sistem pertanian organik.

Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:
1. Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait.
2. Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.

Peran Instansi di bidang pertanian, seperti diadakannya penyuluhan-penyuluhan pertanian dan sekolah lapang sangatlah penting. Dengan adanya penyuluhan tentang sistem pertanian organik itu sendiri, pengajaran pembuatan pupuk organik, pengenalan tentang Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang bersifat organik serta pengenalan tentang pestisida nabati dan hayati kepada petani, setidaknya dapat meningkatkan kesadaran petani akan pentingnya sistem pertanian organik sehingga pada akhirnya mereka mau menerapkan bahkan mengembangkan sistem pertanian organik tersebut di Indonesia.

Negara Indonesia sebagai negara yang agraris dengan hasil alamnya yang kaya dan memiliki komoditas-komoditas yang prospektif untuk pertanian organik sebenarnya dapat mengembangkan sistem pertanian organik dengan baik asalkan ada kesadaran dan kemauan dari petani Indonesia dan adanya dukungan dari Pemerintah serta Instansi-instansi yang bersangkutan. Menghadapi era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian organik Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar internasional. Semoga…

Karangwaru, 2 November 2009

(Ratih Kurniasih Nurachman)

Terdapat tiga macam metode konservasi tanah, yaitu metode konservasi mekanik, kimiawi dan vegetatif. Dari ketiga metode ini tentu ada kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode.
Pada metode konservasi mekanik biasanya berupa pembuatan rorak, pembuatan terasering, dan atau penanaman secara kontur. Tentu hal ini tidak dapat dilakukan pada semua lahan. Ada beberapa kriteria yang menentukan apakah metode tersebut cocok atau tidak digunakan pada daerah atau lahan tersebut. Pembuatan terasering tentunya tidak akan efektif dan efisien apabila dilakukan pada lahan yang datar, begitu juga sebaliknya pembuatan rorak tidak efektif apabila dilakukan pada lahan yang miring terutama dengan kemiringan yang cukup tinggi karena terasering biasanya digunakan pada lahan yang miring sedangkan pembuatan rorak biasanya digunakan pada lahan yang datar. Dari segi kelebihannya tentu metode ini termasuk metode yang paling murah karena tidak membutuhkan biaya, tetapi hanya menggunakan tenaga saja.
Pada metode konservasi kimiawi, tentu metode ini juga terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan. Dimana metode konservasi kimiawi ini merupakan suatu usaha pengawetan tanah dengan menggunakan bahan-bahan kimia yaitu soil conditioner. Memang hal ini menguntungkan dari segi kemudahan dan praktisnya. Akan tetapi metode ini jarang digunakan karena soil conditioner ini mahal dan tentunya lama kelamaan akan merusak tanah karena bahan kimia yang terkandung di dalamnya.
Metode konservasi vegetatif, dimana metode ini merupakan usaha pengawetan tanah dengan menggunakan LCC atau Legume Cover Crops atau yang biasa dikenal dengan sebutan tanaman penutup tanah. LCC ini bila dilihat dari segi kelebihannya, sangat menguntungkan sekali terutama bagi tanaman. Selain dapat meningkatkan sifat fisika tanah, yaitu dapat mengurangi erosi tanah, LCC juga dapat meningkatkan sifat kimia tanah—menambah nitrogen. Akan tetapi, dari segi kelemahannya tak lain adalah dari segi ekonomi, karena perusahaan harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pembelian bibit LCC tersebut.
Dari penjelasan singkat ketiga metode tersebut, menurut saya, metode yang paling menguntungkan bagi tanaman adalah metode konservasi vegetatif dengan penggunaan Legume Cover Crops (LCC). LCC selain mudah ditanam, juga dapat menambah nitrogen yang dibutuhkan oleh tanaman. Seperti yang kita ketahui, nitrogen merupakan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan oleh tanaman terutama dalam proses fotosintesis tanaman. Banyaknya nitrogen di udara ternyata tidak menjadi jaminan bahwa tanaman dapat menyerap nitrogen dalam jumlah yang banyak pula. Nitrogen yang diserap oleh tanaman biasanya dalam bentuk nitrat dan ammonium. Akan tetapi, nitrogen seringkali tidak dapat tersedia bagi tanaman karena sifatnya yang mudah menguap ke udara. Sehingga tanaman tidak dapat menyerap nitrogen tersebut dalam jumlah yang banyak. Dengan adanya LCC, leguminosa tersebut dapat mengikat nitrogen bebas dari udara sehingga menjadi tersedia bagi tanaman.
Baik untuk tanaman tetapi belum tentu pula baik bagi perusahaan-perusahaan perkebunan. Tidak jarang perkebunan-perkebunan mengacuhkan pentingnya LCC. Padahal LCC merupakan salah satu komponen penting di bidang pertanian, termasuk juga bagi tanaman tahunan—tanaman perkebunan.
Di perusahaan tempat saya Kerja Lapangan, sebagai contohnya, mereka tidak menggunakan LCC, padahal mereka tahu LCC sangat penting bagi tanaman. Masalah ekonomi menjadi alasan utama kenapa banyak perusahaan perkebunan tidak menggunakan LCC. Tentunya mereka lebih memilih menggunakan metode konservasi mekanik yang memang pada dasarnya tidak mengeluarkan biaya, kecuali biaya pekerja saja. Untuk menggunakan LCC, tentunya memerlukan biaya ekstra untuk pembelian bibit LCC.
Kesadaran perusahaan perkebunan akan pentingnya penggunaan LCC bagi perkebunan mereka sepertinya masih rendah. Walaupun pengetahuan mengenai keuntungan penggunaan LCC untuk jangka waktu yang panjang sudah mereka ketahui, akan tetapi masalah ekonomi tetap saja tidak dapat mengubah sikap mereka untuk tidak menggunakan LCC.
Hal-hal seperti inilah yang perlu dibenahi di beberapa perkebunan yang belum bisa memikirkan “nasib” lahan mereka dalam jangka waktu yang panjang. Tentunya karena tanaman-tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit merupakan tanaman yang memerlukan unsur hara makro terutama N dalam jumlah yang besar dan juga tentunya “menguras habis” persediaan unsur-unsur hara tersebut karena umur tanaman yang sampai berpuluh-puluh tahun ini.
Keegoisan perusahaan perkebunan inilah yang nantinya akan merugikan untuk waktu ke depan. Untuk saat ini memang dampaknya belum dapat dirasakan, akan tetapi suatu saat nanti hal itu akan dapat dirasakan. Bagaimana nanti suatu saat lahan akan menurun produktivitasnya dan menurun tingkat kesuburannya. Sehingga dampaknya yang paling terasa adalah menurunnya hasil produksi tanaman itu sendiri.
Alangkah baiknya apabila mereka mengurangi ego mereka untuk mendapatkan keuntungan dalam jangka waktu panjang bukan dalam jangka waktu pendek saja. LCC tidak selamanya merugikan dalam hal ekonomi. Pada awalnya saja perusahaan mengeluarkan biaya untuk membeli bibit LCC tersebut. Akan tetapi, setelah itu mereka tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk membeli bibit LCC lagi, karena mereka dapat memperbanyak bibit LCC sendiri. Tentunya hal ini akan menguntungkan perusahaan dalam jangka waktu yang panjang, yaitu kesuburan tanah tetap terjaga, hasil produksi tanaman pun akan semakin meningkat—seperti yang diharapkan perusahaan-perusahaan pada umumnya.

(Ratih Kurniasih Nurachman)

Sedikit mengenai gempa..

Posted: October 13, 2009 in handschrift
Tags:

Mungkin, kebanyakan manusia sekarang sudah tidak berpikir rasional lagi. Hal-hal yang irasional seringkali menjadi rasional bagi anggapan mereka. Seperti kepercayaan mereka terhadap ramalan-ramalan yang marak akhir-akhir ini. Seperti misalnya saja, paranormal-paranormal di Indonesia dengan gamblangnya mengatakan ramalannya mengenai gempa yang akan terjadi di daerah X pada bulan sekian, kemudian akan ada penyakit baru yang aneh, akan banyak terjadi kecelakaan lalu lintas, akan ada kapal laut yang tenggelam dan seterusnya. Siapa mereka? Mereka bukanlah Tuhan. Mereka tidak dapat memprediksi terjadinya suatu bencana apalagi kematian. Para ahli geologi saja tidak bisa memprediksi terjadinya bencana. Mereka yang sudah expert dalam bidangnya saja tidak dapat memprediksi, tapi paranormal-paranormal yang entah basic pendidikannya apa, secara yakin memprediksi bencana yang akan terjadi.

Seperti pada 30 desember 2004, hasil diskusi para ahli geologi Indonesia —– setelah gempa Aceh 26 Desember 2004 tidak akan terjadi gempa besar lain  : “Aceh dan sekitarnya aman untuk 150-200 tahun mendatang” (Dzikron, 2009, dalam Tragedi Tsunami Di Aceh “Bencana Alam atau Rekayasa?”). Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa memang gempa bumi tidak dapat diprediksi. Kenyataannya, gempa terjadi lagi di Nias dengan kekuatan 8,7 Skala Richter pada 28 Maret 2005 dan yang baru-baru ini terjadi gempa bumi di Padang berkekuatan lebih dari 7 Skala Richter pada 30 September 2009 serta di Jambi sebesar 7 Skala Richter pada keesokan harinya.

Ironisnya, saat ini warga Lampung Barat sudah termakan isu bahwa akan terjadi gempa 8,8 Skala Richter. Mereka sudah mengalami ketakutan dan trauma akan peristiwa yang sebenarnya belum dapat diprediksi apakah akan benar-benar terjadi atau tidak. Tidak sedikit masyarakat Lampung yang “pasrah” dan gencar meminta maaf melalui Internet atau Facebook karena takut tidak “sempat” meminta maaf apabila nanti mereka yang akan menjadi korban jiwa selanjutnya. Darimana mereka mendapatkan kabar tersebut? Tidak lain hanya dari isu dari orang yang tidak diketahui dan dari ramalan-ramalan paranormal-paranormal melalui media. Tetapi mengapa mereka dengan serta-mertanya percaya begitu saja? Padahal secara ilmiah, Indonesia memang berada pada wilayah yang rawan akan bencana. Seperti misalnya, Indonesia dikelilingi oleh lautan, yang memang berpotensi besar akan terjadi tsunami apabila terjadi gempa tektonik yang berpusat di laut dengan kedalaman yang dangkal. Logikanya saja, tidak akan mungkin terjadi tsunami apabila Indonesia tidak dikelilingi oleh lautan.


Gempa Bumi di Indonesia. Mengapa bisa terjadi?

Gempa bumi yang sering melanda Indonesia, juga tidak lain karena Indonesia terletak diantara lempeng-lempeng tektonik yang selalu bergerak. Di dunia ada 16 lempeng tektonik yang tebalnya 0 – 90 km. Dari ke-16 lempeng tektonik ini, ada 15 lempeng tektonik yang bergerak sedangkan 1 berhenti. Lempeng tektonik ini berupa lapisan padat yang mengambang di atas magma. Hal inilah yang menyebabkan lempeng ini selalu bergerak. Lempeng tektonik mengalami pergerakan tidak lain agar terjadi kesetimbangan di permukaan bumi. Bumi yang bergerak dengan kecepatan ± 1667 km/jam —dapat dibayangkan saja apabila tidak ada lempeng-lempeng tektonik sebagai penyeimbang— bumi yang bulat ini tidak akan seperti ini. Hal ini dapat diilustrasikan dengan misalnya saja gasing –permainan anak-anak– yang ketika gasing itu berhenti, ia tidak lagi tegak lurus. Gasing itu akan miring ke kanan atau miring ke kiri, menjadi tidak seimbang. Apabila bumi tidak memiliki lempeng tektonik sebagai penyeimbang, maka bumi ini akan bernasib sama dengan gasing itu.

Dari ke-16 lempeng tektonik tersebut, Indonesia terletak diantara lempeng samudera Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia. Menurut Teori Pengapungan Benua (Alfred Wagener, 1912), bumi tersusun atas inti yang berisi cairan magma panas yang dilapisi oleh batuan lempeng (lempeng samudera dan lempeng benua). Lempeng-lempeng tersebut seperti kumpulan mosaik dalam ukuran yang sangat besar, dan dapat bergeser dengan kecepatan 5-10 cm per tahun, kecepatan ini berbeda tergantung daerahnya. Pergerakan lempeng yang paling cepat ada di Hindia Selatan dengan kecepatan 13-15 cm/tahun, sedangkan di Jawa kecepatannya 3-4 cm/tahun dan di Sumatera kecepatannya 5-7 cm/tahun. Pergeseran lempeng terbagi menjadi tiga, yaitu tipe saling bergeseran (transform), tipe pemisahan (divergen) dan tipe penujaman (convergen). Di Indonesia sendiri berlaku tipe pergeseran penujaman (convergen). Penujaman ini akibat lempeng samudera Indo-Australia yang menyuruk lempeng benua Eurasia, sehingga tercipta zona tumbukan (subduction zone). Dengan adanya zona tumbukan ini menyebabkan timbulnya gempa serta terbentuknya bidang patahan naik yang membentuk perbukitan (pegunungan) di bagian barat Pulau Sumatera dan bagian Selatan Pulau Jawa (Dzikron, 2009 dalam Tragedi Tsunami Di Aceh “Bencana Alam atau Rekayasa?”).

Dengan demikian, sudah sewajarnya apabila di Indonesia khususnya Pulau Jawa dan Pulau Sumatera sering mengalami bencana seperti gempa bumi dan meletusnya gunung berapi. Dampak penujaman itu juga yang menyebabkan terbentuknya barisan gunung berapi (ring of fire) di sepanjang jalur penujaman. Akumulasi penujaman selama ratusan tahun akhirnya memuncak melampaui batas sehingga lapisan batuan patah, diikuti gempa bumi. Sehingga dapat disimpulkan, gempa bumi adalah terjadinya getaran, guncangan (ground shaking) akibat pelepasan energi secara tiba-tiba pada patahnya lapisan batuan di dalam bumi. Patahan tersebut terjadi apabila lapisan batuan tidak sanggup menahan tekanan pergeseran lempeng yang terjadi. Dengan kata lain, gempa bumi dapat terjadi akibat dari pergerakan lempeng tektonik dan karena terjadinya patahan lapisan batuan di dalam bumi.

Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan?

Tidak hanya di Indonesia, Jepang merupakan negara yang juga sering dilanda bencana alam seperti gempa bumi. Sudah sejak dulu bahkan. Akan tetapi, bukan ketakutan yang semestinya sikap yang kita tunjukkan. Kita tidak dapat memprediksi apalagi mencegah terjadinya suatu gempa sehingga yang dapat kita lakukan adalah mencerdasi bencana gempa bumi itu sendiri. Pengetahuan mengenai gempa bumi, pengetahuan mengenai tindakan yang harus kita lakukan apabila terjadi gempa, mengenali tanda-tanda yang menyebabkan gempa bumi melalui fenomena alam dan bangunan tahan gempa adalah beberapa upaya yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir dampak yang diakibatkan oleh gempa. Sehingga apabila terjadi gempa bumi, lagi, kerusakan dan korban jiwa akibat gempa dapat diminimalisir.

Di Jepang, pemerintah Jepang sudah membuat peraturan mengenai bangunan tahan gempa. Di Indonesia pun sudah diberlakukan hal tersebut. Seperti misalnya di daerah Kalasan, Yogyakarta, didirikan sekitar 80 bangunan tahan gempa berupa rumah dome (seperti rumah di Kutub Utara), lengkap dengan rumah sakit, sekolah dan masjid dalam satu komplek. Namun sepertinya hal itu masih belum dilaksanakan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Padahal apabila itu dilaksanakan dapat meminimalisir kerusakan dan korban jiwa yang terjadi akibat gempa bumi.

Tidak hanya itu, kita juga harus lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan berpasrah diri kepada Tuhan, bukannya mempercayai ramalan-ramalan dari paranormal yang masih belum dapat dipastikan itu. Karena hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Wallahualam..

11 Oktober 2009, 12:40 pm

(Ratih Kurniasih Nurachman)